niEn

yesTerDay is hiStorY tomoRow is miSterY todaY is giFt

Wednesday, November 19, 2008

bicara ciNta daN perpisaHan (cuma renungan)

Tiba-tiba…

Aku ingin perasaanku seperti saat ini. Bebas. .Lepas..Huh. Sehari ini –tumben -aku berusaha mencerna apa makna dibalik cinta dan dibalik perpisahan. Aku sendiri sampai saat ini masih ambigu dengan makna cinta. Sebagian orang memang memposisikan cinta sebagai memiliki. Apapun itu. Apakah iya? Iya memang untuk sebagian orang.

Awalnya terinspirasi. Kisah yang unik dan fenomenal of d’year saat ini menurutku perpisahan Dewi lestari (Dee) dan Marcell dan hubungan mereka dengan masing-masing pasangan baru mereka (mmm…tidak bermaksud ikut membumbui nikmatnya bergosip yang sedang diramu oleh berbagai bentuk infotainment tetapi menurutku ini sebuah pelajaran).

Bagaimana mereka dengan begitu dewasa dan indah memaknai sebuah cinta. Luar biasa. Bahkan tak terlintas di benakku selama ini.


… Cinta itu seharusnya membebaskan segala sesuatu. Cinta itu tidak egois. To love is to detach. Mencintai tidak harus selalu memiliki. Karena kalau kita sedang berbicara mengenai kepemilikan berarti kita sedang berbicara mengenai ego. Bukan cinta lagi. Beda cerita. Mencintai berarti bersedia melepaskan kemelekatan termasuk kemelekatan pada ego kita. Dan kita juga sadar bahwa belajar mencintai itu ternyata tidak mudah karena konsekuensinya adalah harus belajar melepaskan. Dan itu adalah cinta yang sebenar-benarnya. Sejatinya cinta.

(the-tao-of-marcell.blogspot.com)

Boleh juga. Sebagai manusia biasa dan khususnya perempuan biasa, yang tersetting dalam naluriku memang ‘cintaku’ adalah suatu ruh yang harus menamai dirinya milikku. Aku akan menguras habis air mata yang kupunya hanya demi meratapi kata selamat tinggal dan sejenisnya. Huh. Lalu? Ya, karena settingan naluriku yang udah sedemikian mengerak dalam sepanjang perjalanan hidupku. Lalu? Ya, ada pelajaran baru yang kudapat. Bahwa cinta mempunyai ruang yang sangat luas. Setiap orang bebas dan sah memaknainya. Dan keputusan bagaimana imbas dari makna itu ada pada diri kita masing-masing. Aku belum tentu dengan cepat memasukkan makna yang dituangkan dari kalimat ‘cinta itu seharusnya membebaskan segala sesuatu’ dalam naluriku, bukan karena aku tidak mampu, tapi karena aku belum belajar. Atau mungkin aku belum mengerti benar apa itu ego. Itu juga yang membuat aku memaknai perpisahan sebagai kiamat kecil. Seperti puing-puing yang berserakan karena bom yang baru saja meledak.

Dan

Perpisahan yang aku cerna dari cara memaknai yang dilakukan Dee menurutku cukup mempesona,

…Saya sempat termenung melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.
Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

(dee-idea.blogspot.com)

Hmmm…jika memang begitu semua pasti indah-indah aja. Perpisahan menjadi sebuah fase yang memang harus dipijak bukan untuk diratapi. Ya, satu gambaran berharga. Menurutku ini sebuah motivasi (secara aku yang….hehehe). Harusnya tak ada airmata, tak ada kecewa, apalagi sakit hati…greatt… Yap satu pelajaran lagi.

Dan

Ada satu hal lagi yang aku benar-benar salut dengan mereka. Mungkin aku agak berbeda dan kurang setuju dengan anggapan kebanyakan orang tentang ‘misterius’nya hubungan mereka. Mereka telah sama-sama memiliki pasangan masing-masing, yang diketahui dan disetujui oleh mereka. Apapun alasan mereka aku tetep acungi jempol untuk keberanian mereka. Keberanian untuk apa? Untuk bertanggung jawab secara penuh atas apa yang mereka putuskan. Aku sendiri belum pernah melihat di sekitarku, ketika dua orang menjalin kasih – cinta- , kemudian pada akhirnya harus memutuskan hubungan, apakah terbersit dalam benak mereka untuk membawa pasangannya ke arah yang kembali bahagia? Merelakan satu sama lain untuk kembali menjalin kasih dengan orang lain misalnya, atau benar-benar melepas (artikan: membebaskan perhatian) baru ketika masing-masing sudah benar-benar saling mempunyai pasangan. Jadi, saling suport, saling jaga, hingga titik bahagia itu sama-sama ditemukan. Ibaratnya nih, ~

ketika dua burung selalu terbang bersama...selalu. Suatu saat ternyata dua burung itu harus terbang dengan tujuan terbang yang berbeda. Nevermind. Keduanya merasa punya tanggung jawab, bahwa masing-masing harus kuat terbang tanpa salah satunya. Apapun caranya, bahkan bila merelakan masing-masing terbang bersama teman baru yang arah tujuan terbangnya sama. Tak ada sakit hati dan kecewa –sekali lagi-. Yang pasti, yakin bahwa masing-masing dari pasangan tadi mampu kembali terbang bahkan lebih tinggi dan tinggi …hmmm.

buNa kenapa ya.hehe. Ga lah, ini imbas dari ketidakuatan sebenarnya. Caraku menebus kesalahan atas protesku ma Tuhan. Berusaha mencari energi positif atas energi negatif yang kubuat sendiri. Hikz. Dan bagaimanapun, terimakasihku tak terhingga untuk Tuhanku yang paling mengerti diriku.

Terimakasih untuk hari ini, nice lonely day…


lopH buNa
lopH buNa

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home